JAKARTA, dinamikanews.id — Presiden Prabowo Subianto pada 7 November 2025 resmi melantik dan mengambil sumpah sepuluh anggota Komite Percepatan Reformasi Polri di Istana Merdeka. Dalam arahannya, Presiden menegaskan pentingnya reformasi menyeluruh di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), agar tercipta kepastian hukum yang berkeadilan dan institusi kepolisian yang benar-benar dipercaya rakyat.
Langkah Prabowo ini menjadi momentum baru dalam perjalanan panjang upaya reformasi kepolisian Indonesia. Namun jauh sebelum itu, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, semangat reformasi kepolisian sejatinya telah lebih dulu berakar melalui sosok Jenderal Kunarto, Kapolri periode 1991–1993 — seorang jenderal yang dikenal sederhana, lurus, dan bersahaja dalam sikap maupun kebijakan.
Sebelum mengenakan seragam dengan empat bintang di pundaknya, Kunarto datang menghadap Presiden Soeharto dengan pakaian sederhana dan hati bergetar. Ia tidak datang membawa konsep, hanya membawa kejujuran.
"Saya ini sudah lama sekali meninggalkan Polri, Pak. Sekarang Bapak menugaskan saya duduk di titik pusat pengabdian polisi. Saya tidak tahu harus memperbaiki Polri dari mana. Saya mohon petunjuk Bapak," ujar Kunarto kala itu.
Ruangan hening. Soeharto, dengan kebiasaannya yang tenang dan penuh perenungan, hanya menatap langit-langit sambil mengisap rokok klobotnya. Setelah beberapa menit hening, sang presiden berkata pelan tapi tajam:
"Itu tidak sulit ya, Kunarto. Yang penting kamu baik. Asal kamu baik, maka semua akan baik."
Hanya tiga menit wejangan. Tiga kata kunci: kamu harus baik.
Namun di balik kesederhanaan kalimat itu, tersimpan makna yang lebih dalam daripada seribu halaman teori kepemimpinan.
Kunarto keluar dari ruangan dengan tekad bulat: menjadi orang baik — dan memastikan seluruh jajaran Polri berada di jalur yang sama. Sejak saat itu, prinsip "jadi baik untuk kebaikan lembaga" menjadi arah moral kepemimpinan Polri di bawah komandonya.
Dalam wawancara dengan Kompas bertepatan dengan Hari Bhayangkara ke-46 pada 1 Juli 1992, Jenderal Kunarto mengungkapkan dua hal sederhana yang sesungguhnya diinginkan masyarakat dari polisi:
"Pertama, masyarakat ingin rasa aman, benar-benar dilindungi polisi. Kedua, mereka ingin pelayanan yang lebih baik."
Namun, dengan jujur ia mengakui bahwa dua tuntutan sederhana itu belum sepenuhnya mampu dipikul Polri saat itu. "Sumber daya manusia kami belum cukup. Tuntutan masyarakat terus meninggi, sehingga polisi, seperti orang Jawa bilang, keponthal-ponthal," ujarnya kala itu.
Meski dihadapkan pada berbagai keterbatasan, Kunarto tidak menyerah. Ia menegaskan bahwa reformasi tidak cukup hanya dengan modernisasi peralatan, tetapi harus dimulai dari pola pikir.
"Apalah artinya peralatan modern kalau orangnya, pola pikirnya tidak sampai," katanya.
Dari kesadaran itu, lahirlah sebuah semboyan legendaris yang menggema hingga kini di tubuh Polri:
"Tekadku: Pengabdian Terbaik."
Sebuah ikrar sederhana, namun sarat makna — mencerminkan semangat pengabdian yang tulus dan profesionalisme yang bersumber dari hati.
Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo dan Komisi Percepatan Reformasi Polri yang baru dibentuk, semangat seperti yang diwariskan Jenderal Kunarto terasa kembali relevan.
Bahwa reformasi sejati bukan sekadar perubahan struktur, melainkan perubahan watak dan moral pengabdian.
Tiga kata Soeharto kepada Kunarto — "Kamu harus baik" — kini seolah menjadi pesan lintas zaman bagi para penegak hukum hari ini. Bahwa keadilan dan keamanan tidak akan pernah lahir dari sistem yang sempurna, melainkan dari orang-orang baik yang berani menjaga kebaikan di tengah kekuasaan. (**)


