Konflik Agraria di Desa Iwul: Pembangunan Real Estate Telan Hak Masyarakat dan Rusak Ekosistem
3/25/25
Bogor, DINAMIKA NEWS – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat melakukan investigasi lanjutan ke Desa Iwul, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, terkait konflik agraria yang kembali mencuat. Konflik ini bermula dari pembangunan real estate yang diduga mengganggu ekosistem dan lahan pertanian warga.
Permasalahan ini sejatinya telah berlangsung selama dua dekade, namun kembali mendapat sorotan setelah aduan masyarakat disampaikan pada akhir tahun 2024. Pembangunan kawasan Telaga Kahuripan oleh PT. Kuripan Raya, yang mengklaim memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) atas lahan seluas 750 hektare, disebut-sebut telah mengabaikan hak-hak dasar masyarakat dan merusak keseimbangan lingkungan.
Menurut Fauqi, Staf Advokasi dan Kampanye WALHI Jawa Barat, ada sejumlah regulasi yang seharusnya menjadi acuan dalam pembangunan, termasuk Undang-Undang Pengendalian Lingkungan Hidup. Pasal 70 dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa masyarakat berhak berpartisipasi dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Tak hanya itu, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) juga menegaskan perlindungan terhadap hak-hak petani penggarap. Pasal 6 UUPA menyatakan bahwa tanah memiliki fungsi sosial, yang berarti penggunaannya harus memperhatikan kepentingan masyarakat luas, termasuk mereka yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian.
"Setiap pembangunan harus menjunjung aspek-aspek dasar yang menjadi hak masyarakat. Legalitas yang dimiliki perusahaan bukan berarti bisa mengabaikan hak-hak warga setempat. Ini yang selama ini tidak dilakukan oleh PT. Kuripan Raya, sehingga konflik terus terjadi dan ramai diperbincangkan di media sosial," ungkap Fauqi.
Ia juga menyoroti rekam jejak buruk shareholders proyek Telaga Kahuripan yang didominasi oleh perusahaan "plat merah" di sektor lingkungan. Menurutnya, komitmen mereka terhadap lingkungan hanya sebatas formalitas.
Perwakilan warga Desa Iwul, Jarkasih, menegaskan bahwa masyarakat setempat merupakan penduduk asli yang sudah turun-temurun tinggal di wilayah tersebut. Ia mengungkapkan bahwa sejak awal, izin-izin pembangunan tidak pernah melibatkan masyarakat.
"Kami ingin jika memang ada proyek pembangunan, selesaikan dulu dampaknya terhadap kehidupan kami. Jangan sampai tiba-tiba kami seperti tinggal di tanah milik perusahaan sendiri," kata Jarkasih.
Ia juga menyoroti dampak ekologis yang ditimbulkan oleh proyek ini. Sebelumnya, ketika lahan tersebut masih berupa perkebunan karet, warga tidak pernah mempermasalahkan karena masih ada keseimbangan ekosistem dan dampak ekonomis bagi masyarakat. Namun, sejak PT. Kuripan Raya masuk, sumber mata air yang menjadi kebutuhan warga Desa Iwul dan desa sekitar, seperti Bojong Sempu, mulai mengering.
"Kami tidak pernah tahu ada AMDAL, izin cut and fill, dan izin lainnya. Yang kami tahu, sumber mata air berkurang, lahan garapan semakin sulit, dan kehidupan kami semakin terancam," tambahnya.
Kasus konflik agraria di Desa Iwul menjadi potret nyata bagaimana pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat dapat menimbulkan permasalahan sosial dan lingkungan. WALHI Jawa Barat mendesak agar proyek ini dikaji ulang dengan melibatkan masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan. Keberlanjutan ekosistem dan hak-hak warga harus menjadi prioritas agar konflik serupa tidak terus berulang di masa mendatang. (**)