Suamiku, Lukaku, Sinemart dan IWO Gaungkan Pemberdayaan Perempuan Tolak KDRT - Dinamika News
News Update
Loading...

10/23/25

Suamiku, Lukaku, Sinemart dan IWO Gaungkan Pemberdayaan Perempuan Tolak KDRT

JAKARTA, dinamikanews.id — Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Ikatan Wartawan Online (IWO) 2025 yang digelar di Grand Cemara Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, menjadi tonggak penting dalam perjuangan melawan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan memperkuat gerakan pemberdayaan perempuan di Indonesia.

Dalam pembukaan Rakernas yang berlangsung pada 22–23 Oktober 2025 itu, Sinemart Pictures memperkenalkan film terbarunya berjudul "Suamiku, Lukaku". Tak sekadar karya sinematik, film ini dihadirkan sebagai gerakan nasional melawan KDRT dan ajakan untuk memperkuat suara perempuan di ruang publik.

Disutradarai oleh Sharad Sharan, film ini dibintangi oleh jajaran artis papan atas seperti Ayu Azhari, Acha Septriasa, Baim Wong, Raline Shah, dan Mathias Muchus. Setiap karakter membawa pesan kuat bahwa tidak ada perempuan yang pantas dibungkam, dimarginalkan, atau hidup dalam ketakutan di rumah tangganya sendiri.

Dalam sesi diskusi bertema "Peran Wartawan Online Tolak KDRT di Indonesia", sutradara Sharad Sharan menegaskan komitmennya untuk menjadikan film ini bukan sekadar hiburan, melainkan seruan nasional untuk melawan kekerasan berbasis gender.

"Film ini kami persembahkan untuk membuka mata bangsa bahwa KDRT bukan urusan domestik, melainkan persoalan kemanusiaan," ujarnya.

Film Suamiku, Lukaku dijadwalkan tayang pada Maret 2026, dengan harapan pesan yang diusungnya menjangkau lebih luas — dari layar bioskop hingga ke rumah tangga, sekolah, dan lembaga pembuat kebijakan.

Data Komnas Perempuan 2023 mencatat lebih dari 339.000 kasus kekerasan terhadap perempuan, sebagian besar terjadi di ranah domestik. Namun, angka ini diyakini hanya puncak gunung es, karena banyak korban masih memilih diam akibat stigma sosial, rasa takut, dan minimnya akses bantuan hukum maupun sosial.

Diamnya para korban justru memperpanjang siklus kekerasan. Untuk memutus rantai ini, dibutuhkan keberanian penyintas dan solidaritas dari seluruh elemen masyarakat, termasuk media dan pemerintah.

Dalam sesi diskusi usai penayangan cuplikan film, Siti Husna Lebby Amin dari Women Crisis Centre (WCC) menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mendukung para penyintas KDRT.

"Kita perlu memperluas jaringan rumah aman, memperkuat advokasi, dan memastikan perempuan tidak berjuang sendirian," ujarnya.

Sementara itu, Roostien Ilyas, anggota Majelis Kehormatan PP IWO sekaligus penasihat Komnas Perlindungan Anak, menambahkan bahwa media memiliki kekuatan moral dan sosial untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap isu kekerasan.

Peserta Rakernas IWO yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia menyatakan dukungan penuh terhadap gerakan anti-KDRT.

Peserta Rakernas IWO yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia menyatakan dukungan penuh terhadap gerakan anti-KDRT. Mereka sepakat bahwa wartawan online memiliki peran strategis dalam membentuk opini publik, menyebarkan edukasi, dan menumbuhkan empati sosial.

"Melalui karya jurnalistik yang sensitif gender dan berkeadilan, media bisa menjadi garda depan perubahan sosial," kata salah satu peserta Rakernas.

Suamiku, Lukaku bukan hanya film, melainkan gerakan transformasional.
Ia menjadi cermin realitas dan seruan bagi seluruh lapisan masyarakat — mulai dari legislator, aparat penegak hukum, hingga warga biasa — untuk tidak lagi memandang KDRT sebagai isu pribadi, tetapi sebagai luka bangsa yang harus disembuhkan bersama.

Dengan pesan yang kuat dan emosional, film ini diharapkan dapat menginspirasi korban untuk bersuara, mendorong pelindungan hukum yang lebih kuat, dan menumbuhkan kepedulian kolektif terhadap korban kekerasan.

Peluncuran film ini di Rakernas IWO menjadi awal dari gerakan nasional melawan KDRT — sebuah momentum di mana seni, jurnalisme, dan aktivisme bersatu. Melalui Suamiku, Lukaku, Indonesia diajak untuk memberdayakan perempuan, menolak kekerasan, dan memulihkan martabat kemanusiaan.

"Ini bukan sekadar film, tapi gerakan untuk membangkitkan keberanian perempuan Indonesia agar tidak lagi hidup dalam diam," tutup Sharad Sharan penuh haru. (**)

Share with your friends

Give us your opinion
Notification
Aktifkan loncengnya jika ingin update artikel di web ini.
Done