BANDUNG, dinamikanews.id –Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat mengecam keras berbagai bentuk pembungkaman dan intimidasi terhadap masyarakat, aktivis, maupun insan pers yang berupaya mengungkap persoalan lingkungan hidup.
Eksekutif WALHI Jabar, Wahyudin, menegaskan bahwa praktik-praktik semacam itu merupakan ancaman serius terhadap demokrasi dan keadilan lingkungan. Ia menilai, upaya pembungkaman ini sering kali muncul dalam konteks penegakan hukum alih fungsi lahan, kerusakan hutan, dan eksploitasi sumber daya alam.
"Kami mengecam apabila ada oknum pejabat atau siapa pun yang melakukan pembunuhan karakter terhadap masyarakat atau media yang konsisten mengungkap isu lingkungan hidup," tegas Wahyudin, Rabu (8/10/2025).
Wahyudin menilai, tarik menarik kepentingan dalam kasus alih fungsi lahan dan kerusakan hutan sering berujung pada tekanan terhadap pihak-pihak yang berani bersuara. Bentuknya bisa berupa intimidasi, kriminalisasi, hingga pembunuhan karakter terhadap aktivis dan jurnalis lingkungan.
"Pembunuhan karakter dan intimidasi harus dihentikan. Jika terbukti ada pejabat atau oknum yang melakukannya, mereka harus diproses hukum sesuai peraturan yang berlaku. Inilah salah satu penyebab mengapa kerusakan hutan dan lingkungan hidup masih terjadi secara masif," ujar aktivis yang akrab disapa Iwang itu.
Menurutnya, keterbukaan informasi publik menjadi kunci untuk mencegah praktik-praktik tersebut. Ia menegaskan bahwa hak warga untuk mendapatkan informasi lingkungan hidup dijamin oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
"Setiap warga berhak meminta informasi publik. PPID wajib memberikan jawaban secara terbuka. Jika tidak direspons, maka bisa dibawa ke sengketa informasi publik. Tidak ada istilah 'rahasia' untuk informasi yang seharusnya menjadi hak masyarakat," paparnya.
Fakta di lapangan menunjukkan masih banyak warga yang takut menyampaikan aspirasi karena adanya tekanan dari pihak tertentu. Wahyudin menyebut fenomena ini sebagai bentuk nyata pembungkaman yang sistematis.
"Bukan rahasia umum lagi jika ada warga yang ditakut-takuti oleh oknum. Ketakutan ini membuat mereka kehilangan hak demokrasinya. Akibatnya, konflik sosial meningkat karena kurangnya sosialisasi dan keterbukaan informasi," bebernya.
Ia menambahkan, ketika warga tidak bersuara, bukan berarti mereka setuju terhadap kebijakan tertentu — melainkan karena rasa takut yang ditanamkan oleh pihak berkepentingan. Kondisi ini menciptakan ketimpangan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
Wahyudin juga menegaskan dukungan WALHI Jabar terhadap implementasi Undang-Undang Pers Tahun 1999, yang menjamin kemerdekaan pers dalam menyampaikan informasi kepada publik.
"Media massa dan insan pers memiliki peran penting dalam pelayanan publik. Mereka menjadi jembatan informasi antara pemerintah dan warga, dan harus dilindungi dari segala bentuk tekanan," tandasnya.
Sebagai penutup, WALHI Jabar menegaskan posisinya bahwa Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) harus dicabut karena dinilai tidak berpihak kepada rakyat dan lingkungan hidup.
"UUCK justru membuka ruang lebih besar bagi eksploitasi alam dan mempersempit ruang gerak masyarakat. Prinsip kami jelas — rakyat dan lingkungan harus dilindungi, bukan dikorbankan," pungkas Wahyudin. (**)