BOGOR, dinamikanews.id – Dalam diskusi publik bertajuk "RUU Masyarakat Adat dan Jalan Pulang Daulat Pangan" yang digelar di Sajogyo Institute, Bogor, pada Senin, 21 Juli 2025, para narasumber dari berbagai latar belakang menyuarakan keprihatinan dan harapan yang sama: RUU Masyarakat Adat harus segera disahkan sebagai jalan menuju pengakuan hak, keadilan ekologis, dan kedaulatan pangan.
Setelah lebih dari 15 tahun diperjuangkan, RUU Masyarakat Adat masih terkatung-katung di meja legislator. Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Kiagus M. Iqbal dari SAINS dan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, ini bukan sekadar produk hukum administratif.
"RUU Masyarakat Adat bukan hanya pengakuan identitas, tapi jalan pulang bagi masyarakat adat agar bisa hidup merdeka di tanahnya sendiri," tegas Iqbal.
Ia juga menyoroti ilusi kedaulatan pangan yang selama ini terlalu terpusat pada satu jenis pangan—beras. Menurutnya, masyarakat adat telah lama memiliki sistem pangan yang beragam dan berbasis lokal. Namun kini, sistem pertanian korporat dan ekspansi industri merusak relasi manusia dan alam.
"Agroekologi adalah peluang politik untuk mengembalikan keharmonisan itu," tambahnya.
Sorotan kuat juga datang dari generasi muda adat. Irsyaduddin, pemuda adat dari Kasepuhan, menyampaikan bahwa identitas budaya perlahan terkikis seiring masuknya bibit industri dan pola konsumsi cepat.
"Anak muda di kampung saya mulai lupa nama tanaman lokal. Semua ingin panen dua kali setahun, tapi kehilangan akar," ungkapnya getir.
Menurutnya, pengakuan wilayah adat tidak hanya soal batas-batas tanah, tetapi tentang ruang hidup untuk belajar, merawat warisan, dan pulang.
"Kalau tak ada pengakuan, ke mana kami bisa pulang?" tanyanya.
Sementara itu, dari perspektif gender, Laksmi Adriani Savitri dari CRRS menegaskan bahwa perempuan adat selama ini menanggung beban kerja-kerja reproduksi sosial yang dianggap sepele, padahal menjadi penyangga kehidupan komunitas.
"Wilayah adat bukan hanya tanah, tapi tubuh kolektif. Perempuan adat berdiri di garis depan demi generasi yang berlanjut," ujarnya.
Marthin Hadiwinata dari FIAN Indonesia mengkritik keras negara yang gagal menjamin hak atas pangan dan gizi (HaPG), terutama bagi masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak. Ia menyinggung kasus kelaparan berulang di Papua sebagai indikator nyata kegagalan negara.
"RUU Masyarakat Adat bisa menjadi pintu masuk untuk reformasi agraria dan memperkuat produksi pangan komunitas," tegas Marthin.
Ia menekankan bahwa pangan dan gizi yang layak adalah hak dasar, sejajar dengan hak hidup itu sendiri.
"Tanpa pangan sehat, tak akan ada generasi sehat."
Dari akar rumput, Linda Awi (Port Numbay) dan Lili Mustari (Masenrempulu) menyuarakan bahwa sistem pertanian modern justru mereduksi pengetahuan lokal yang selama ini diwariskan secara turun-temurun. Lili menyebut benih lokal jauh lebih tangguh dan adaptif dibandingkan benih pemerintah.
"Perempuan adat adalah penjaga keseimbangan. Mereka yang memastikan keluarga tetap bisa makan," ujarnya.
Ayut Enggeliah dari Sawit Watch menambahkan bahwa ekspansi sawit menjadi tantangan besar terhadap ketahanan pangan komunitas. Ia memaparkan data mengejutkan:
"Selama 2015–2024, 698.566 hektare lahan pangan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit, atau rata-rata 69.856 hektare per tahun."
Ia menggarisbawahi bahwa proyek-proyek seperti Program Strategis Nasional (PSN) di Kalimantan Utara telah membuat masyarakat kehilangan akses pangan dari hutan, seperti yang terjadi di Desa Mangkupadi, Kabupaten Bulungan.
Diskusi ini mempertegas bahwa RUU Masyarakat Adat bukan hanya untuk masyarakat adat, tapi untuk kita semua. Ia adalah bagian dari perjuangan kolektif menjaga bumi, merawat budaya, dan memastikan pangan sebagai hak, bukan komoditas.
Seperti disampaikan Irsyaduddin dengan penuh haru "RUU ini bukan hanya untuk orang tua kami. Ini tentang kami, generasi muda, agar tetap punya alasan dan ruang untuk pulang."
Di tengah ancaman krisis ekologis dan krisis pangan yang mengintai, pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah konkret menuju keadilan yang lebih luas: keadilan lingkungan, pangan, gender, dan generasi. Sebab hanya dengan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak dasar masyarakat adat, kita bisa merancang masa depan yang berakar kuat dan tumbuh adil. (Nan)