Diskusi mendalam tentang tantangan masyarakat adat di Papua, Rabu, 23 Juli 2025. |
BOGOR, dinamikanews.id – Ketika kebijakan negara dan investasi besar mengalir deras ke wilayah-wilayah paling terpencil, masyarakat adat Papua memilih bertahan. Bukan hanya untuk hidup, tapi untuk mempertahankan tanah, budaya, dan cara hidup yang terus digerus dari hari ke hari.
Isu ini menjadi perbincangan hangat dalam Diskusi Publik Sesi Kedua yang digelar di Kantor Sajogyo Institute, Jalan Malabar No. 22, Kota Bogor, Rabu (23/7/2025), dengan tajuk "Masyarakat Adat di Wilayah Frontier: Kasus Papua."
Tiga narasumber dihadirkan, masing-masing menyampaikan kegentingan situasi dari dimensi politik, sosial-budaya, dan hak asasi manusia yang dihadapi masyarakat adat di Papua.
Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, menjelaskan bahwa Papua hari ini bukan hanya ladang konflik bersenjata, tetapi juga medan eksploitasi kebijakan.
"Frontier bukan hanya wilayah yang jauh dari pusat, tapi wilayah yang dijadikan zona eksklusif oleh negara dan pengusaha," ujar Franky.
Menurutnya, wilayah perbatasan dan pedalaman Papua secara sistematis telah dijadikan target ekspansi investasi, utamanya tambang dan perkebunan skala besar. Hingga 2 juta hektare lahan di Merauke telah hancur, menghapus ekosistem penting dan ruang hidup masyarakat adat.
"Proyek Strategis Nasional justru menjadi alat penghancur sistem pangan dan spiritual masyarakat," katanya, menyoroti bagaimana regulasi justru sering tumpang tindih dan memihak modal.
Perempuan Adat: Pilar yang Dilupakan
Dewi Anggraini, Ketua Umum Perempuan AMAN, menegaskan bahwa perempuan adat tak hanya terdampak paling parah, tetapi juga menjadi garda pertama yang mencoba bertahan.
"Perempuan adat kehilangan kendali atas tanah, air, dan pangan. Mereka kehilangan daya hidup," ujar Dewi.
Ia menyoroti bahwa wilayah kelola perempuan telah dirusak, sehingga akses terhadap kebutuhan dasar, yang dulunya bisa diambil dari alam, kini harus dibeli. Hal ini berdampak pada beban domestik, peran sosial, bahkan martabat perempuan adat dalam komunitasnya.
Perempuan AMAN mendorong penguatan kembali kelembagaan adat perempuan dan dokumentasi wilayah kelola untuk menegaskan kembali eksistensi mereka.
"Transformasi perempuan adat adalah bentuk perlawanan. Ini soal eksistensi, bukan sekadar identitas," tegasnya.
Buruh Paksa: Bentuk Baru Penindasan
Emil Ola Kleden, Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), menyampaikan bahwa perampasan tanah tidak hanya menghilangkan ruang hidup, tapi juga menghapus bentuk pekerjaan tradisional masyarakat adat.
"Mereka dipaksa masuk ke sistem kerja upahan tanpa perlindungan, tanpa pilihan," jelas Emil.
Ia menyebut praktik ini sebagai bentuk baru perbudakan yang muncul dari ketimpangan struktural. Buruh paksa, kata Emil, adalah hasil dari kebijakan pembangunan yang mengabaikan konteks sosial budaya lokal.
"Pembangunan tanpa mendengar masyarakat adalah bentuk penindasan baru," katanya. (Nan)