Presidium Suara Warga Pabuaran (SAPU). |
BOJONGGEDE, dinamikanews.id — Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur nasional, suara rakyat dari Pabuaran, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, justru menggema sebagai jeritan perlawanan terhadap ketidakadilan. Proyek Tol Depok–Antasari (Desari) Seksi 3, yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), menuai kecaman keras dari warga yang merasa hak-haknya dikesampingkan.
Presidium Suara Warga Pabuaran (SAPU), sebuah kelompok warga yang terbentuk awal 2024, menyoroti proses pengadaan lahan yang dinilai tidak transparan, sewenang-wenang, dan sarat dugaan intimidasi. Bagi mereka, proyek yang semestinya membawa manfaat malah berubah menjadi ancaman terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
"Kami tidak menolak pembangunan. Kami menolak ketidakadilan," tegas Jalal Abduh, salah satu presidium SAPU.
Ia menjelaskan, proses penilaian harga tanah (appraisal) dilakukan tanpa pelibatan warga secara adil. Harga yang ditawarkan, berkisar antara Rp 1,4 juta hingga Rp 3,5 juta per meter persegi, dianggap jauh dari nilai pasar dan tidak disertai transparansi atau dasar penilaian yang bisa dipertanggungjawabkan.
Lebih ironis lagi, warga mengaku tidak pernah diundang secara resmi dalam forum musyawarah untuk membahas masa depan tanah dan rumah mereka. SAPU bahkan mengungkap adanya dugaan keterlibatan oknum tertentu yang memanfaatkan proses pengadaan lahan untuk keuntungan pribadi.
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang juga menjadi penanggung jawab proyek, belum menunjukkan itikad turun langsung menemui warga, meski desakan terus menguat.
"Ini bukan pembangunan, ini penyerobotan terstruktur," ungkap Dr. Muhammad Abdul Mukhyi, presidium SAPU lainnya.
Menurutnya, beberapa warga memang sudah menerima uang ganti rugi, namun bukan karena mereka sepakat, melainkan karena merasa takut, tertekan, dan tidak memiliki pilihan. SAPU menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan soal harga semata, melainkan tentang penegakan hak konstitusional sesuai Pasal 28H UUD 1945, UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, dan Pasal 74 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sebagai bentuk sikap tegas terhadap ketidakadilan ini, SAPU menyampaikan empat tuntutan utama kepada pemerintah yaitu hentikan sementara seluruh proses penggusuran. Lakukan audit independen terhadap mekanisme appraisal tanah. Gelar dialog resmi dan terbuka antara pemerintah dan warga terdampak. Dan sediakan perlindungan hukum dan pendampingan sosial bagi warga.
Mochdar Soleman, presidium SAPU lainnya, memberikan peringatan keras kepada pemerintah dan pelaksana proyek.
"Jangan salahkan kalau kami galang solidaritas publik. Kalau negara terus bungkam, kami akan lawan secara konstitusional," tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya peran media dalam menjaga transparansi publik. Bagi SAPU, media bukan sekadar penyampai informasi, melainkan mitra penting dalam memperjuangkan keadilan dan akuntabilitas negara.
"Media harus menjadi corong keterbukaan. Jangan biarkan proyek strategis nasional berubah menjadi proyek strategis ketidakadilan. Bangun negeri bukan berarti hancurkan rakyatnya," pungkas Mochdar. (**)