BOGOR, dinamikanews.id – Asap kemenyan membubung, dentuman debus memecah suasana, dan lenggak Jaipong menggema lantang di halaman Kantor DPRD Kota Bogor. Kamis (13/11/2025) menjadi saksi salah satu aksi budaya paling keras tahun ini, ketika ratusan pegiat budaya Sunda mengepung gedung wakil rakyat. Mereka menuntut pembatalan rencana pembebasan lahan di kawasan Cagar Budaya Bunker Mandiri dan Sumur Tujuh, wilayah yang mereka sebut sebagai "urat nadi sejarah Sunda."
Aksi berlangsung panas namun tertib. Simbol-simbol budaya dipentaskan sebagai bentuk perlawanan, menegaskan bahwa perjuangan ini bukan sekadar politik anggaran, melainkan tentang menjaga identitas dan warisan leluhur.
Melalui pengeras suara, massa menyampaikan empat tuntutan utama:
-
Membatalkan segera butir anggaran pembebasan lahan di kawasan Cagar Budaya Bunker Mandiri dan Sumur Tujuh dalam RAPBD Kota Bogor.
-
Mencabut seluruh kebijakan terkait alih fungsi, pembebasan lahan, atau pelepasan kawasan cagar budaya tersebut.
-
Menggunakan kewenangan penuh DPRD untuk memastikan Pemkot Bogor membatalkan kebijakan pembebasan lahan.
-
Menindaklanjuti dan mengusut tuntas kasus pengerusakan Situs Bunker Mandiri dan Sumur Tujuh pada tahun 2018.
Di antara sorakan massa, Ketua Forum Komunikasi Pelestari Pakuan Pajajaran (FKPP) menyampaikan orasi paling keras pada aksi tersebut. Retorikanya mengguncang perhatian seluruh peserta aksi.
"Apa arti pembangunan jika ia menindas sejarah? Apa arti anggaran miliaran jika dibayar dengan hilangnya jejak leluhur? Bunker Mandiri dan Sumur Tujuh bukan lahan kosong itu kitab terbuka tentang siapa kita. Dan kitab itu tidak boleh dirobek oleh kebijakan yang tidak memahami nilai tanah ini."
Ia menegaskan bahwa perjuangan ini bukan untuk menolak pembangunan, melainkan menolak kesewenang-wenangan.
"Jika negara berkata tanah ini bisa dibeli, kami bertanya: bagaimana cara membeli martabat? Bagaimana cara membeli warisan yang sudah berumur ratusan tahun?"
FKPP mengaku telah menempuh jalur resmi sebelum turun ke jalan.
"Kami sudah bersurat, kami sudah audiensi. Tapi jika telinga pemerintah tertutup, maka jalanan menjadi ruang terakhir bagi suara kami. Kami tidak akan mundur sampai kebijakan ini dibatalkan."
Setelah aksi berlangsung sekitar satu jam, sepuluh perwakilan massa diterima untuk audiensi di gedung DPRD Kota Bogor. Di ruang rapat, mereka menyampaikan tuntutan langsung kepada anggota dewan.
Hakanna, anggota Komisi I DPRD Kota Bogor dari Fraksi PAN, menyatakan siap meneruskan aspirasi para pegiat budaya tersebut.
"Saya menerima aspirasi para budayawan Pakuan Pajajaran. Mereka telah bersurat kepada Pemkot dan DPRD terkait keberatan mereka. Semua aspirasi ini akan saya koordinasikan kepada pimpinan DPRD, anggota dewan lain, dan Pemerintah Kota Bogor. Semoga kebijakan yang diambil nantinya benar-benar pro rakyat."
Di sisi lain, Pemerintah Kota Bogor melalui surat resminya menegaskan bahwa pembangunan jalan pengganti Jalan R. Saleh Danasasmita tetap akan dilaksanakan.
"Pemerintah Kota Bogor akan melaksanakan rencana pembangunan jalan pengganti Jalan R. Saleh Danasasmita sesuai persyaratan teknis." — demikian kutipan surat yang diterima Bharatanews.id.
Pernyataan ini mempertegas bahwa tarik ulur antara pemerintah dan komunitas budaya masih jauh dari kata selesai.
Aksi ini menjadi penanda bahwa bagi para pegiat budaya, Cagar Budaya Bunker Mandiri dan Sumur Tujuh bukan sekadar aset tanah. Ia adalah simbol sejarah panjang Pakuan Pajajaran—bagian dari identitas, memori kolektif, dan harga diri masyarakat Sunda.
Konflik antara kepentingan pembangunan dan pelestarian budaya kembali mencuat, dan arah keputusan DPRD Kota Bogor kini menjadi penentu masa depan kawasan bersejarah tersebut. (Irpan/Nan)

