Seruan Damai dari Joglosemar, Aktivis PWI Minta Konflik Internal Segera Diakhiri
![]() |
Tokoh dan aktivis PWI dari wilayah Joglosemar (Jogja, Solo, Semarang). |
Solo, DINAMIKA NEWS — Di tengah konflik berkepanjangan dalam tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang belum menunjukkan titik terang selama lebih dari satu tahun, sejumlah tokoh dan aktivis PWI dari wilayah Joglosemar (Jogja, Solo, Semarang) menyampaikan seruan moral untuk menyudahi pertikaian demi penyelamatan organisasi.
Pertemuan informal berlangsung di Sekretariat PWI Surakarta, Kompleks Monumen Pers Nasional, Solo. Hadir dalam pertemuan ini tokoh pers Yogyakarta Sihono HT, tokoh Semarang Amir Machmud NS, aktivis PWI Jawa Tengah Setiawan Hendra Kelana, dan tuan rumah Ketua PWI Surakarta Anas Syahirul.
Para aktivis sepakat, konflik internal ini telah menyebabkan kerugian besar—baik secara materi maupun nonmateri—yang berdampak tidak hanya di pusat, tetapi juga menjalar ke daerah serta merugikan anggota dan calon anggota PWI di seluruh Indonesia.
Tujuh Dampak Serius Konflik di Tubuh PWI:
-
Turunnya Kepercayaan Mitra: Banyak pihak kini bersikap wait and see, menunda kerja sama hingga konflik usai.
-
Mandeknya UKW: Dewan Pers tidak lagi mengizinkan PWI menggelar Uji Kompetensi Wartawan, menghambat kaderisasi wartawan baru.
-
Upaya Damai Tak Terealisasi: Tawaran Kementerian Komunikasi dan Digital untuk Kongres Dipercepat pada Desember 2024 belum terwujud.
-
Dualisme HPN 2025: Peringatan Hari Pers Nasional yang digelar di dua tempat berbeda membingungkan mitra dan anggota.
-
Menurunnya Minat Bergabung: Wartawan baru mulai memilih organisasi lain karena ketidakpastian di PWI.
-
Persoalan Daerah Memburuk: Banyak masalah daerah yang tidak tertangani akibat fokus organisasi tersedot ke konflik pusat.
-
Minimnya Advokasi dan Representasi: PWI tak lagi aktif dalam pengawalan isu pers nasional dan tidak punya wakil di Dewan Pers.
Seruan Rekonsiliasi dan Langkah Solutif Berdasarkan kecintaan terhadap PWI dan semangat persaudaraan, keempat tokoh menyampaikan ajakan untuk segera melakukan langkah rekonsiliasi, melakukan penjajakan rekonsiliasi nasional dengan semangat kekeluargaan dan kenegarawanan. Mencari penyelesaian alternatif selain Kongres Dipercepat, asalkan menjunjung tinggi prinsip damai dan kebersamaan. Jika tetap memilih Kongres Dipercepat, maka realisasinya harus segera dilakukan dengan kesepakatan seluruh pihak. Menjadikan Surakarta, tempat lahirnya PWI, sebagai lokasi simbolik untuk menyelenggarakan rekonsiliasi nasional.
"Konflik ini tidak hanya memengaruhi pengurus, tapi juga memukul semangat anggota, calon anggota, hingga kredibilitas organisasi di mata mitra. Kami ingin PWI kembali menjadi rumah besar yang kokoh, bukan medan konflik," tegas Anas Syahirul, Ketua PWI Surakarta. (**)