Krisis Lingkungan di Puncak Bogor: Deforestasi dan Alih Fungsi Lahan Picu Longsor dan Banjir Hingga Jakarta
3/04/25
Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Wahyudin. |
Bandung, DINAMIKA NEWS – Banjir bandang yang melanda kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, pada Minggu (2/3/2025) menjadi alarm keras bagi kondisi lingkungan yang semakin kritis. Curah hujan ekstrem yang mengguyur wilayah tersebut menyebabkan Sungai Ciliwung meluap, menghantam pemukiman warga di Desa Tugu Selatan dan Tugu Utara. Jalan Raya Puncak pun lumpuh akibat arus deras yang membawa lumpur serta material kayu dari hulu.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Wahyudin, menegaskan bahwa bencana ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi akibat dari eksploitasi lingkungan yang tak terkendali. Menurutnya, deforestasi dan alih fungsi lahan di Puncak telah berlangsung selama bertahun-tahun, mengurangi kemampuan tanah menyerap air hujan dan meningkatkan risiko banjir serta longsor.
"Hutan dan lahan resapan yang seharusnya menjadi benteng alami justru berubah menjadi vila, hotel, dan kawasan wisata. Dalam lima tahun terakhir, kerusakan lingkungan di Puncak Bogor meningkat drastis dari 45% menjadi sekitar 65%. Artinya, lebih dari setengah wilayah Puncak mengalami degradasi serius," ungkap Wahyudin, Selasa (4/3/2025).
Kelalaian Pemerintah dan Bisnis yang Mengabaikan Lingkungan
Walhi Jabar menemukan bahwa banyak pengembang properti dan wisata di kawasan Puncak mengabaikan analisis dampak lingkungan (Amdal). Dokumen Amdal, UKL/UPL, yang seharusnya menjadi acuan kelayakan lingkungan, hanya dijadikan formalitas untuk memperoleh izin usaha.
Selain itu, pertambangan pasir dan batu ilegal semakin memperparah kondisi tanah, membuatnya rentan terhadap erosi, longsor, dan gerakan tanah. Sayangnya, menurut Walhi, pemerintah justru terus mengeluarkan izin usaha di kawasan Puncak demi kepentingan ekonomi jangka pendek, tanpa mempertimbangkan dampak ekologis.
"Pemerintah tampak sengaja menggadaikan lingkungan demi pemasukan daerah. Padahal, Puncak Bogor memiliki status L4, yaitu kawasan yang memberikan perlindungan terhadap tanah dan air, serta L1, yang berfungsi sebagai daerah resapan air," tambah Wahyudin.
Akibat eksploitasi ini, Jakarta pun ikut terdampak. Luapan air dari hulu menyebabkan banjir di wilayah ibu kota, menunjukkan bahwa kerusakan ekosistem di Puncak tidak hanya menjadi masalah lokal, tetapi juga berimbas luas ke daerah hilir.
Tuntutan Walhi: Evaluasi, Penertiban, dan Sanksi Tegas
Banjir bandang di Puncak seharusnya menjadi peringatan terakhir sebelum bencana yang lebih besar terjadi. Walhi Jawa Barat mendesak pemerintah provinsi dan Kabupaten Bogor untuk segera:
- Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh bisnis properti, pengembangan wisata, dan kegiatan tambang di kawasan Puncak yang berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung.
- Menertibkan bangunan liar yang berdiri tanpa izin dan melanggar rencana tata ruang wilayah.
- Menghentikan penerbitan izin usaha baru di kawasan Puncak, mengingat fungsinya sebagai daerah resapan air untuk tiga kabupaten: Cianjur, Bogor, dan Sukabumi.
- Menindak tegas pelaku usaha yang tidak taat pada regulasi lingkungan dengan memberikan sanksi nyata.
"Jika langkah konkret tidak segera diambil, bencana seperti ini hanya tinggal menunggu waktu untuk terulang kembali, dengan skala yang lebih besar dan dampak yang lebih menghancurkan," tegas Wahyudin.
Bencana ini seharusnya menjadi titik balik dalam pengelolaan kawasan Puncak. Jika tidak ada kebijakan yang lebih tegas untuk melindungi ekosistem, maka alam akan terus memberikan balasan yang lebih buruk di masa depan. (**)