-->

Bale Seni Intan Bulaeng dan Perjuangan Menjaga Marwah Taman Ismail Marzuki

Jakarta, Dinamika News -- Bale Seni Intan Bulaeng pimpinan Seniman Nasional Nurwansyah Putra dan Mijip Hermani tampil memukau diacara Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (FSP-TIM). Acara yang berlangsung dua malam berturut-turut, Jumat dan Sabtu, tanggal 23 dan 24 September 2022 ini, dirancang dengan mengusung semangat 'poetic resistance' atau perlawanan puitis. 

Kegiatan seni bertajuk Panjang Umur Perjuangan, Menjaga Marwah Taman Ismail Marzuki dihadiri para pegiat seni musik, teater, tari, sastra, rupa, dan film. Para peserta menampilkan kesenian untuk menyuarakan permasalahan faktual berkenaan dengan kebijakan pemerintah dalam mengurus kesenian dan kebudayaan. 

Mijip Hermani pimpinan Bale Seni Intan Bulaeng mengatakan pertunjukan seni dan kebudayaan ini tidak hanya menyangkut soal revitalisasi TIM, tapi juga soal nasib ruang-ruang ekspresi kesenian di berbagai daerah. 

"Acara yang digelar di pelataran luas Teater Besar TIM itu, tidak berkaitan dengan rencana, yang disebut-sebut sebagai ''grand-launching" (wajah baru TIM) itu. Istilah yang ditolak dengan keras oleh FSP-TIM, karena tidak mencerminkan sejarah panjang TIM sama sekali," katanya. 

Ketua musisi anak jalanan se-Indonesia ini menjelaskan istilah grand-launching dalam pandangan FSP-TIM, kuat mengesankan kegairahan profan, pemujaan terhadap bentuk pisikal semata, dengan aroma dagang yang kental. Tidak juga mengedepankan penghormatan terhadap bahasa nasional Indonesia. 

Mijip Hermani juga mengungkapkan "Wajah baru TIM" sebagaimana iklan promo yang gencar disosialisasikan oleh PT Jakpro, di mata FSP-TIM tidak mengandung makna yang signifikan. Lebih terasa sebagai sensasi artifisial saja. Tampak luarnya wajah baru, namun tampak dalamnya mengandung banyak perkara.
Sementara itu atas nama Forum Seniman Peduli TIM, Mogan Pasaribu mengatakan gelaran Hajatan Panjang Umur Perjuangan - Menjaga Marwah Taman Ismail Marzuki, oleh FSP-TIM dimaksudkan sebagai ruang pengabaran, mendedahkan perspektif yang lurus dan terang, dari sudut pandang obyektif kalangan seniman tentang apa yang senyatanya terjadi (das Sollen), dan apa yang seharusnya (dan Sein). 

Mogan menjelaskan bertolak dari sekian kali Focus Group Discussion (FGD) yang berlangsung antara FSP-TIM, PT Jakpro, Dinas Kebudayaan Jakarta, dan TGUPP Gubernur Jakarta, serta peninjauan langsung di lapangan dan investigasi yang dilakukan oleh FSP-TIM, ditemukan sejumlah permasalahan, baik teknis maupun non-teknis. Teater arena  yang  salah  disain,  ruang-ruang latihan seni yang tidak sesuai dengan kebutuhan seniman, teater halaman yang buruk, dan sebagainya. Kesalahan merancang  dan  membangun,  yang diakui  oleh  Direktur  Utama PT Jakpro, Widi Amansto  pada  pertemuan  dengan  FSP-TIM  dalam  forum rapat di Fraksi PDIP Jakarta, yang ia sebut sebagai "nasi sudah jadi bubur." Kesalahan yang juga diakui salah seorang anggota Akademi Jakarta dalam sebuah diskusi.

"Penamaan sejumlah ruang dan bangunan di kawasan itu, dengan menempelkan nama-nama para seniman yang pernah lahir dan besar di kawasan TIM, dilakukan pula dengan serampangan, tidak sesuai fatsun yang pantas. Forum Seniman Peduli TIM sangat menyesalkan cara-cara yang tak mengindahkan penghormatan dan pemuliaan itu, sehingga mengabaikan nama seorang perempuan seniman, koreografer, pembaharu tari Minang, Huriah Adam. Padahal, dahulu, di kawasan rumah besar seniman itu, pernah ada Sanggar Tari Huriah Adam, yang didedikasikan karena idealisme berkeseniannya," ujarnya. 

Persoalan gawat lainnya kata Morgan adalah penetapan tarif penggunaan ruang yang dilakukan secara sepihak oleh PT Jakpro. Telah santer menjadi pembicaraan, gedung "Graha Bakti Budaya" yang baru, konon sewanya dipatok dengan tarif Rp 185 juta per delapan jam. Tarif yang sangat tidak masuk akal, apalagi jika itu ditujukan kepada para seniman. Sementara itu, disebut-sebut gedung kesenian itu akan dibuka pula untuk acara pesta perkawinan, perayaan ulang tahun partai politik, dan sebagainya, yang tidak berkenaan dengan urusan kesenian.

Revitalisasi TIM yang didasarkan pada Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 63 Tahun 2019 dan Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 16 Tahun 2022, juga menghadirkan persoalan rumit yang ganjil, menyangkut institusi pengelola dan mekanisme pengelolaannya. PT Jakpro (yang konon menggunakan   dana  Penyertaan Modal Daerah  yang  bersumber dari APBD DKI Jakarta, dan dari dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang bersumber dari APBN), harus tetap 'bercokol' di TIM sebagai pengelola. Terbetik kabar,  pihak BUMD yang tugasnya membangun dan merawat bangunan itu telah pula menyusun skema "subsidi" atas segala kegiatannya di TIM, disamping memungut langsung sumber-sumber pendapatan yang ada di kawasan yang ia bangun, seperti jasa parkir kenderaan, penyewaan ruang dan bangunan, jasa penayangan iklan luar ruang, sewa kamar-kamar penginapan, sewa lapak kuliner, dan lain-lain.

Wacana 'Public Service Obligation' (PSO) dipakai sebagai alasan bagi PT Jakpro untuk bisa tetap menguasai TIM, hingga 28 tahun ke depan, atau lebih.

Dengan sejumlah persoalan silang kelibut yang absurd dan membuat bingung banyak pihak itu, maka FSP-TIM tidak dapat memahami alasan diselenggarakannya grand-launching wajah baru TIM, yang aneh itu. FSP-TIM menolak formalitas 'peresmian' itu, lantaran revitalisasi TIM sendiri masih belum tuntas. (Wan) 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel