JAKARTA, dinamikanews.id – Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN) 2025, Stop TB Partnership Indonesia (STPI) menggugah kesadaran publik lewat diskusi bertajuk "Eliminasi atau Ilusi? Indonesia di Jalur Eliminasi TBC: Komitmen yang Tak Surut" yang berlangsung di Griya Arifin Panigoro, Jakarta, Rabu (12/11/2025).
Kegiatan ini mempertemukan empat pakar kesehatan nasional: dr. Donald Pardede, Dr. Hermawan Saputra, Prof. dr. Erlina Burhan, dan dr. Triya Novita Dinihari, dengan Reydha Pulpy sebagai moderator. Diskusi publik ini berfokus pada tiga isu krusial dalam eliminasi TBC di Indonesia, yakni vaksin, kader kesehatan, dan efisiensi anggaran.
Dalam paparannya, Prof. dr. Erlina Burhan, Dewan Penasihat STPI, menyoroti persoalan mendasar yang terus berulang: rendahnya angka temuan kasus TBC.
"Dibanding banyaknya kasus, yang paling menantang justru menemukannya. Tahun 2024 adalah capaian tertinggi dengan 75 persen dari 1 juta kasus berhasil diidentifikasi," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa upaya eliminasi TBC tidak bisa lepas dari penguatan deteksi dini dan sistem surveilans berbasis komunitas agar tidak ada kasus yang luput dari penanganan.
Sementara itu, dr. Triya Novita Dinihari dari Tim Surveilans Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa pemerintah tengah mewacanakan revisi Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
"Kalau ada pasien TB yang tinggal di rumah tidak layak, kami ingin libatkan Kementerian PUPR. Karena tidak semua warga punya KTP dan BPJS, kami juga akan berkolaborasi dengan Dukcapil," ungkapnya.
Menurut dr. Triya, pendekatan lintas kementerian menjadi penting agar penanganan TBC tidak hanya fokus pada aspek medis, tetapi juga sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks pendanaan, dr. Donald Pardede mengingatkan pentingnya kesadaran nasional untuk tidak bergantung pada dana global, mengingat Indonesia kini berstatus negara upper middle income.
"Kita perlu beralih dari ketergantungan global ke pendanaan domestik. Negara harus punya alokasi dan regulasi yang jelas agar komunitas bisa berperan lebih besar," tegas dr. Donald.
Ia menilai, perang dan dinamika politik global berpotensi mengganggu kesinambungan bantuan internasional, sehingga kemandirian finansial dalam sektor kesehatan menjadi kebutuhan mendesak.
Dr. Hermawan Saputra, Wakil Ketua I CCM Global Fund AIDS TB Malaria Indonesia, menambahkan bahwa meski pendanaan dari Global Fund untuk Indonesia kemungkinan menurun hingga 40% pada 2026–2027, komitmen dukungan terhadap eliminasi TBC tetap kuat.
"Mungkin sisa Rp1,7 triliun dari Global Fund, tapi anggaran pemerintah bisa masuk. Di sinilah pentingnya peran jurnalis untuk mengangkat narasi kolaborasi dan komitmen eliminasi TB," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa media memiliki kekuatan strategis untuk membangun opini publik dan mengedukasi masyarakat agar ikut berperan aktif dalam penanganan TBC.
Dalam kesempatan yang sama, STPI mengumumkan pemenang TB Journalist Fellowship Programme 3.0, sebuah ajang apresiasi bagi jurnalis yang mengangkat kisah inspiratif tentang perjuangan melawan TBC di lapangan. Dari 20 peserta, tiga jurnalis terpilih dinilai berhasil menyajikan liputan berimbang dan berperspektif kemanusiaan.
Program ini merupakan bentuk nyata kolaborasi antara STPI dan insan media dalam memperkuat literasi publik seputar isu kesehatan nasional, khususnya TBC.
Melalui diskusi publik ini, STPI menegaskan kembali bahwa penanganan TBC bukan hanya tanggung jawab sektor kesehatan, tetapi seluruh elemen masyarakat — mulai dari pemerintah, komunitas, akademisi, dunia usaha, hingga media.
"Semangat Hari Kesehatan Nasional ini mengingatkan kita semua bahwa eliminasi TBC hanya bisa tercapai bila menjadi gerakan bersama," ujar salah satu perwakilan STPI dalam penutupan acara. (**)

