BOGOR, dinamikanews.id — Yayasan Pesona Bumi Pasundan (YPBP) bersama Pemerintah Kota Bogor dan sejumlah pemangku kepentingan menggelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertema "Utilizing the Community Working Group Coordination Among Communities To Discuss Finding From The Regular Monitoring and Setting The Advocacy Strategy" di ASTON Bogor Nirwana Residence, Senin (27/10).
Kegiatan ini menjadi wadah refleksi terhadap implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2026.
Dalam forum tersebut, Alma Wiranta, perwakilan dari Bagian Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Kota Bogor, turut menjadi peserta aktif yang memberikan pandangan terkait sejumlah pasal kontroversial dalam KUHP baru.
Ia menilai, beberapa pasal yang disorot narasumber dari YPBP menarik untuk ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), terutama dalam konteks kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia.
"Beberapa pasal memang perlu diperjelas agar tidak menimbulkan multitafsir dan potensi penyalahgunaan wewenang," ujar Alma.
Beberapa pasal dalam KUHP yang banyak menuai kritik dari kalangan aktivis HAM antara lain Pasal 300–302 tentang penodaan agama. Pasal 240–241 tentang penghinaan terhadap lembaga negara. Pasal 390 tentang penyebaran berita bohong. Pasal 431 tentang penelantaran warga miskin dan anak. Pasal 188 ayat (3) tentang ajaran marxisme/leninisme. Pasal 256 tentang larangan demonstrasi tanpa izin.
Para aktivis menilai bahwa beberapa pasal tersebut berpotensi membatasi ruang kebebasan sipil, terutama dalam hal kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkumpul.
Misalnya, pasal tentang penodaan agama dapat digunakan untuk menekan kelompok minoritas; pasal penghinaan terhadap lembaga negara bisa menekan kritik terhadap pemerintah; sedangkan pasal larangan demonstrasi tanpa izin dianggap dapat membungkam aksi protes publik.
Selain itu, pasal mengenai aborsi dan penyajian alat kontrasepsi juga menuai perhatian karena dinilai dapat membatasi hak perempuan atas kesehatan reproduksi.
Sementara pasal terkait ajaran marxisme/leninisme dianggap berpotensi membatasi kebebasan berpikir dan berpendapat.
Dalam diskusi tersebut, Alma Wiranta memberikan sejumlah rekomendasi strategis untuk memastikan implementasi KUHP tetap sejalan dengan prinsip-prinsip HAM.
Ia menekankan pentingnya sosialisasi masif kepada masyarakat agar publik memahami maksud dan ruang lingkup penerapan KUHP baru.
"KUHP perlu disosialisasikan secara luas agar masyarakat dapat memahami dan melaksanakannya dengan baik. Ini menjadi bagian penting dalam memastikan hukum berpihak pada keadilan," ujar Alma.
Lebih lanjut, Alma yang juga merupakan Jaksa aktif ini menegaskan bahwa setiap pasal perlu ditinjau dari aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan masyarakat.
Ia juga membuka kemungkinan langkah judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) bagi pasal-pasal yang dinilai berpotensi melanggar HAM.
"Untuk memastikan keadilan dan kemanfaatan hukum, advokasi melalui judicial review merupakan langkah yang cerdas dan konstitusional," tutup Alma kepada awak media. (**)

