BOGOR, dinamikanews.id – Sejarah panjang Bogor menyimpan kisah yang jarang terungkap. Salah satunya adalah alasan mengapa banyak warga asli Bogor, terutama para sepuh, memilih untuk menyembunyikan gelar ningrat mereka. Bukan sekadar soal kesederhanaan, tapi strategi bertahan hidup di masa penjajahan.
Selama lebih dari 350 tahun, Bogor menjadi garda terdepan dalam perlawanan terhadap kolonial Belanda. Posisi ini bukan kebetulan. Sebagai bekas ibu kota Kerajaan Sunda selama lebih dari seribu tahun, Bogor yang kala itu dikenal sebagai Pakuan Pajajaran, merupakan pusat kekuasaan dan budaya Sunda. Sunda Kalapa, pelabuhan utama kerajaan, kelak direbut dan diganti namanya oleh Belanda menjadi Batavia (kini Jakarta).
Masyarakat Bogor adalah pewaris tahta Pakuan Pajajaran. DNA mereka adalah DNA pemimpin dan pejuang, keturunan Prabu Siliwangi yang dikenal berani dan pantang mundur. Letak geografis Bogor yang dekat dengan Batavia membuat wilayah ini menjadi saksi langsung berbagai pertempuran, bahkan menjadi basis strategis bagi para pejuang dari berbagai daerah.
Namun keberanian ini datang dengan risiko besar. Banyak bangsawan dan tokoh penting Bogor menjadi incaran pemerintah kolonial. Gelar ningrat, yang menjadi simbol kehormatan, justru bisa menjadi ancaman nyawa. Demi melindungi diri dan keluarga, banyak sepuh Bogor memilih menanggalkan atau menyembunyikan gelar tersebut dari kehidupan sehari-hari.
Sejarawan lokal Ahmad Fahir Al-Bughuri menyebut fenomena ini sebagai bentuk "kamuflase budaya" demi kelangsungan hidup. "Wajar kalau generasi sekarang poekeun obor kana karuhun sepuh Siliwangina," ujarnya, mengingatkan agar warisan keberanian dan kejayaan leluhur tidak padam di hati orang Bogor.
Kini, meski zaman telah berubah, kisah penyembunyian gelar ningrat ini menjadi bagian penting dari identitas warga Bogor. Sebuah pengingat bahwa di balik kesahajaan, tersimpan sejarah perjuangan yang berlapis-lapis. (**)