-->

Persidangan HGU 294 PTPN VIII: Dugaan Praktik Malapraktik Sertifikat Tanpa Dasar Hukum

saksi ahli yang dihadirkan oleh Penggugat, Dr. Ir. Tjahyo Arianto, SH, M.Hum
Cibinong, DINAMIKA NEWS -- Sidang perbuatan melawan hukum (PMH) dengan nomor perkara 17/Pdt.G/2024/PN Cbi yang berlangsung di Pengadilan Negeri Cibinong pada 13 Januari 2025, menghadirkan sebuah kenyataan yang mengejutkan terkait Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) 294 milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII. Dalam sidang tersebut, saksi ahli dihadirkan oleh Turut Tergugat 48 dan 49 mengungkapkan dugaan bahwa sertifikat HGU yang diterbitkan untuk lahan seluas 16 hektar tersebut berstatus "bodong" karena proses penerbitannya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dr. Ir. Tjahyo Arianto, SH, M.Hum, yang menjadi saksi ahli dalam persidangan, menyatakan bahwa tanah yang dikelola oleh PTPN VIII dulunya merupakan perkebunan milik Belanda yang tidak memiliki HGU yang sah. Menurutnya, penerbitan sertifikat HGU untuk tanah tersebut seharusnya melalui serangkaian prosedur yang ketat sesuai dengan regulasi yang ada. Namun, dalam prosesnya, PTPN VIII diduga tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

“Jika ada diktum dalam surat keputusan yang tidak dilaksanakan saat pendaftaran HGU, dan sertifikat tetap diterbitkan, maka itu dapat dianggap sebagai malpraktik. Sertifikat yang diterbitkan tersebut tidak sah atau disebut bodong karena syarat-syaratnya tidak dipenuhi,” ungkap Dr. Tjahyo, yang juga dikenal sebagai dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) dan mantan Kepala Kantor BPN selama delapan tahun.

Saksi ahli juga menambahkan bahwa dalam penerbitan HGU, terdapat ketentuan yang mengatur agar petani penggarap yang sudah mengelola tanah tersebut harus dikeluarkan dari permohonan HGU. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak masyarakat yang sudah lama menggarap tanah tersebut, agar mereka tidak dirugikan oleh pengalihan hak yang tidak sesuai.

Menurut Dr. Tjahyo, jika penggarap tanah tersebut tidak dikeluarkan dari pengukuran HGU, dan HGU tetap diterbitkan tanpa mengindahkan keberadaan mereka, maka ini merupakan pelanggaran aturan yang jelas.

“Masyarakat harus dikeluarkan dari pengukuran HGU, tetapi jika ternyata mereka tetap terdaftar dalam HGU, dan kemudian dianggap menyerobot, itu adalah kesalahan,” tambahnya.

Selain itu, pihak Penggugat yang diwakili oleh kuasa hukum Ardiansyah dari Kantor Hukum Ardiansyah dan Rekan, memaparkan bahwa pihaknya memiliki bukti kuat berupa surat keterangan garapan dari penggarap asal yang diterbitkan dan dicatat oleh Kepala Desa setempat. Bukti lain berupa surat peralihan garapan yang diterima oleh pihak Penggugat, serta penguasaan fisik tanah oleh Penggugat yang masih berlangsung hingga saat ini, semakin memperkuat klaim mereka atas tanah tersebut.

Dalam sidang yang akan datang, yang dijadwalkan pada 3 Februari 2025, pihak Penggugat berencana untuk membawa bukti lebih lanjut, termasuk putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung yang membatalkan Sertifikat HGU 294 serta putusan perkara Iwan Darmawan yang juga relevan dengan masalah ini. 

Kasus ini membuka pertanyaan lebih luas tentang praktik penerbitan sertifikat HGU yang seringkali melibatkan masyarakat yang sudah menggarap tanah secara turun-temurun. Apakah regulasi yang ada sudah cukup melindungi hak-hak penggarap dan apakah proses hukum yang dijalankan sudah sesuai dengan asas keadilan? Persidangan selanjutnya akan menjadi momen penting untuk mengungkap sejauh mana keabsahan sertifikat tersebut dan mengembalikan hak-hak masyarakat yang sudah lama menggarap tanah tersebut. (Nan)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel