LBH Benteng Perjuangan Rakyat mendampingi kliennya membuat laporan polisi di Polres Bogor, Sabtu (23/8/2025). |
BOGOR, dinamikanews.id – Desa Ekowisata Tahfidz di Citeureup, Bogor, awalnya digadang-gadang sebagai pemukiman Islami terpadu dengan pondok pesantren, sekaligus program mulia mencetak jutaan penghafal Al-Qur'an. Namun, harapan tersebut berubah menjadi kekecewaan mendalam bagi para konsumen yang telah membeli tanah kavling di kawasan itu.
Pada 23 Agustus 2025, sejumlah korban didampingi LBH Benteng Perjuangan Rakyat (LBH BPR) resmi melaporkan kasus ini ke Polres Bogor dengan Nomor Laporan Polisi: LP/B/1593/VIII/2025/SPKT/POLRES BOGOR/POLDA JAWA BARAT.
Kawasan Desa Ekowisata Tahfidz dipasarkan sebagai proyek Islami yang unik: sebuah pemukiman dengan konsep pesantren tahfidz, di mana seluruh keuntungan usaha disebutkan akan digunakan untuk program amal mencetak para penghafal Al-Qur'an.
Namun, di balik visi tersebut, para konsumen justru mengaku dirugikan. Mereka menilai ada penyalahgunaan kepercayaan dan dugaan praktik penipuan yang dilakukan oleh pasangan suami istri berinisial EFW (Ketua Pengurus Yayasan Tahfidz Indonesia) dan WH.A Wahid (Ketua Pembina Yayasan Tahfidz Indonesia).
Menurut LBH BPR, para korban telah membeli dan melunasi kavling sejak 2018 hingga 2021. Dalam perjanjian, konsumen dijanjikan bahwa status tanah akan ditingkatkan dari PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) ke AJB (Akta Jual Beli) dalam jangka waktu dua tahun.
Namun hingga kini, sertifikat hak milik (SHM) tidak kunjung diberikan. Bahkan, informasi terbaru menunjukkan bahwa sebagian tanah tersebut masih dalam status sengketa.
"Janji-janji terus diberikan, tapi tidak ada realisasi. Padahal para konsumen sudah membayar lunas. Ini jelas merugikan dan melanggar hukum," ungkap Andi Muhammad Yusuf, SH, Direktur LBH BPR, di Polres Bogor, Sabtu (23/8/2025).
Beberapa korban angkat bicara. Dewinta asal Bekasi menyebut dirinya tertarik membeli pada 2021 karena yakin konsep perumahan Islami akan memberi keberkahan.
"Dijanjikan dua tahun akan dilakukan AJB, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan. Setelah saya cek, ternyata tanah masih sengketa. Ini benar-benar mengecewakan," ujarnya.
Sementara Yuyung Sultan asal Bandung mengaku mengetahui proyek ini dari promosi Instagram yang menampilkan suasana Islami dan adanya pondok pesantren.
"Konsepnya bagus, saya beli pada 2020. Tapi ternyata sampai sekarang status tanah tidak jelas. Dari PPJB ke AJB yang dijanjikan dua tahun, ternyata hanya janji manis," tegasnya.
LBH BPR menilai bahwa kasus ini bukan sekadar wanprestasi, melainkan termasuk dugaan tindak pidana penipuan, penggelapan dalam jabatan, dan pencucian uang, sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP Jo Pasal 374 KUHP Jo UU No. 8 Tahun 2010.
"Kami mendesak penyidik segera melakukan penyelidikan dan penyidikan agar tidak ada lagi korban baru," tegas Andi Yusuf.
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa proyek yang membawa narasi mulia sekalipun harus diteliti secara cermat. Jangan hanya tergiur janji keberkahan, tetapi pastikan legalitas tanah, status sertifikat, dan izin proyek benar-benar sah.
Kini, para korban berharap proses hukum berjalan cepat dan tegas, agar citra ajaran mulia Al-Qur'an tidak kembali dijadikan kedok bagi kepentingan yang merugikan masyarakat. (Nan)