Bandung, DINAMIKA NEWS – Di tengah arus modernisasi yang serba cepat, Upacara Ngertakeun Bumi Lamba hadir sebagai laboratorium kebudayaan, tempat di mana generasi muda belajar langsung dari kearifan leluhur tentang arti hidup, kepemimpinan, dan tanggung jawab menjaga bumi.
Digelar setiap tahun di Gunung Tangkuban Parahu, Jawa Barat, upacara ini bukan hanya sekadar seremoni, tetapi wadah lintas generasi yang mempertemukan orang muda, tetua adat, seniman, spiritualis, dan masyarakat umum dalam satu pengalaman kolektif penuh makna.
Berbeda dengan pendidikan formal di ruang kelas, Ngertakeun Bumi Lamba mendidik lewat rasa. Di sini, nilai tentang kebhinekaan, keberanian, kesadaran ekologis, dan kepemimpinan ditanamkan melalui ritual, simbol, seni, dan interaksi sosial yang hidup.
Misalnya, prosesi pengambilan air dari berbagai daerah di Nusantara, lalu menyatukannya dalam ritual utama, bukan hanya menunjukkan simbol persatuan, tapi juga menjadi pelajaran konkret tentang kolaborasi dan tanggung jawab bersama.
Tema tahun ini: "Ngasuh Ratu, Ngayak Menak, Ngaraksa Mandala, Makuan Nagara" menjadi semacam kurikulum nilai, mendorong setiap peserta, terutama generasi muda, untuk mendampingi pemimpin (Ngasuh Ratu), bukan sekadar mengkritik dari jauh, menjadi penuntun moral bagi elite (Ngayak Menak), menjaga ruang hidup yang sakral dan berharga (Ngaraksa Mandala), membangun negara dari ruang-ruang kecil kehidupan sehari-hari (Makuan Nagara).
Nilai-nilai ini tak diajarkan lewat ceramah, melainkan dialami langsung melalui prosesi, kebersamaan, dan kontemplasi yang terjadi sepanjang kegiatan.
Setiap tahun, peserta dari berbagai latar belakang, etnis, agama, dan usia, berkumpul tanpa sekat. Di sini mereka belajar, bukan hanya tentang budaya Sunda, tapi juga tentang bagaimana merawat hubungan dengan alam, sesama manusia, dan spiritualitas.
Para orang tua membawa anaknya. Komunitas lintas pulau ikut serta. Inilah bentuk pendidikan sosial dan spiritual berbasis komunitas yang tak bisa didapatkan di institusi modern.
Ngertakeun Bumi Lamba bukan hanya merawat masa lalu, tapi menumbuhkan masa depan. Ia mengajarkan bahwa dalam dunia yang makin terfragmentasi, kebersamaan adalah kekuatan, dan tradisi adalah kompas untuk tidak tersesat.
Di tengah gempuran digitalisasi dan globalisasi, Gunung Tangkuban Parahu setiap tahunnya menjadi ruang belajar terbuka—di mana nilai, makna, dan harapan tumbuh bersama, dalam bahasa budaya yang hidup. (**)